MAKALAH

MACAM – MACAM KELAINAN KONGENITAL

(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Semester genap Mata Kuliah Patologi)

Di Susun Oleh :

Adinda Fajrin

J200090078

 

 

KEPERAWATAN DIII

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH SURAKARTA

2010

 

 

Macam-Macam Kelainan Kogenital Dan Patofsiologinya

 

Pengertian Kogenital

 

Kelainan Bawaan (Kelainan Kongenital) adalah suatu kelainan pada struktur, fungsi maupun metabolisme tubuh yang ditemukan pada bayi ketika dia dilahirkan. Sekitar 3-4% bayi baru lahir memiliki kelainan bawaan yang berat. Beberapa kelainan baru ditemukan pada saat anak mulai tumbuh, yaitu sekitar 7,5% terdiagnosis ketika anak berusia 5 tahun, tetapi kebanyakan bersifat ringan.

Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasiI konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan sebab penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera setelah lahir. Kematian bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya sering diakibatkan oleh kelainan kongenital yang cukup berat, hal ini seakan-akan merupakan suatu seleksi alamu terhadap kelangsungan hidup bayi yang dilahirkan. Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenitaI besar, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya. Bayi berat lahir rendah dengan kelainan kongenital berat, kira-kira 20% meninggal dalam minggu pertama kehidupannya. Disamping pemeriksaan fisik, radiologik dan laboratorik untuk menegakkan diagnose kelainan kongenital setelah bayi lahir, dikenal pula adanya diagnosisi pre/- ante natal kelainan kongenital dengan beberapa cara pemeriksaan tertentu misalnya pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air ketuban dan darah janin.

 

 

 

 

 

 

Penyebab kelainan Kogenital

Kebanyakan bayi yang lahir dengan kelainan bawaan memiliki orang tua yang jelas-jelas tidak memiliki gangguan kesehatan maupun faktor resiko.Seorang wanita hamil yang telah mengikuti semua nasihat dokternya agar kelak melahirkan bayi yang sehat, mungkin saja nanti melahirkan bayi yang memilii kelainan bawaan.60% kasus kelainan bawaan penyebabnya tidak diketahui; sisanya disebabkan oleh faktor lingkungan atau genetik atau kombinasi dari keduanya.

Kelainan struktur atau kelainan metabolisme terjadi akibat:

hilangnya bagian tubuh tertentu

kelainan pembentukan bagian tubuh tertentu

kelainan bawaan pada kimia tubuh.

 

Kelainan struktur utama yang paling sering ditemukan adalah kelainan jantung, diikuti oleh spina bifida dan hipospadia.Kelainan metabolisme biasanya berupa hilangnya enzim atau tidak sempurnanya pembentukan enzim.Kelainan ini berbahaya bahkan bisa berakibat fatal, tetapi biasanya tidak menimbulkan gangguan yang nyata pada anak.Contoh dari kelainan metabolisme adalah penyakit Tay-Sachs (penyakit fatal pada sistem saraf pusat) dan fenilketonuria.

 

Pemakaian alkohol oleh ibu hamil

Pemakaian alkohol oleh ibu hamil bisa menyebabkan sindroma alkohol pada janin dan obat-obatan  tertentu yang diminum oleh ibu hamil juga bisa menyebakan kelainan bawaan. Penyakit Rh, terjadi jika ibu dan bayi memiliki faktor Rh yang berbeda.

 

 

 

 

Teratogenik

Teratogen adalah setiap faktor atau bahan yang bisa menyebabkan atau meningkatkan resiko suatu kelainan bawaan.Radiasi, obat tertentu dan racun merupakan teratogen.  Secara umum, seorang wanita hamil sebaiknya:

mengkonsultasikan dengan dokternya setiap obat yang dia minum

berhenti merokok

tidak mengkonsumsi alkohol

tidak menjalani pemeriksaan rontgen kecuali jika sangat mendesak.

 

Infeksi pada ibu hamil juga bisa merupakan teratogen. Beberapa infeksi selama kehamilan yang dapat menyebabkan sejumlah kelainan bawaan:

Sindroma rubella kongenital ditandai dengan gangguan penglihatan atau pendengaran, kelainan jantung, keterbelakangan mental dan cerebral palsy

Infeksi toksoplasmosis pada ibu hamil bisa menyebabkan infeksi mata yang bisa berakibat fatal, gangguan pendengaran, ketidakmampuan belajar, pembesaran hati atau limpa, keterbelakangan mental dan cerebral palsy

Infeksi virus herpes genitalis pada ibu hamil, jika ditularkan kepada bayinya sebelum atau selama proses persalinan berlangsung, bisa menyebabkan kerusakan otak, cerebral palsy, gangguan penglihatan atau pendengaran serta kematian bayi

Penyakit ke-5 bisa menyebabkan sejenis anemia yang berbahaya, gagal jantung dan kematian janin

 

 

 

 

Sindroma varicella kongenital disebabkan oleh cacar air dan bisa menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada otot dan tulang, kelainan bentuk dan kelumpuhan pada anggota gerak, kepala yang berukuran lebih kecil dari normal, kebutaan, kejang dan keterbelakangan mental.

Gizi

Menjaga kesehatan janin tidak hanya dilakukan dengan menghindari teratogen, tetapi juga denganmengkonsumsigiziyangbaik.Salah satu zat yang penting untuk pertumbuhan janin adalah asam folat.Kekurangan asam folat bisa meningkatkan resiko terjadinya spina bifida atau kelainan tabung saraf lainnya. Karena spina bifida bisa terjadi sebelum seorang wanita menyadari bahwa dia hamil, maka setiap wanita usia subur sebaiknya mengkonsumsi asam folat minimal sebanyak 400 mikrogram/hari.

 

Faktor fisik pada rahim

Di dalam rahim, bayi terendam oleh cairan ketuban yang juga merupakan pelindung terhadap cedera.Jumlah cairan ketuban yang abnormal bisa menyebabkan atau menunjukkan adanya kelainan bawaan. Cairan ketuban yang terlalu sedikit bisa mempengaruhi pertumbuhan paru-paru dan anggota gerak tubuh atau bisa menunjukkan adanya kelainan ginjal yang memperlambat proses pembentukan air kemih. Penimbunan cairan ketuban terjadi jika janin mengalami gangguan menelan, yang bisa disebabkan oleh kelainan otak yang berat (misalnya anensefalus atau atresia esofagus).

 

 

 

 

Faktor genetik dan kromosom

Genetik memegang peranan penting dalam beberapa kelainan bawaan. Beberapa kelainan bawaan merupakan penyakit keturunan yang diwariskan melalui gen yang abnormal dari salah satu atau kedua orang tua. Gen adalah pembawa sifat individu yang terdapat di dalam kromosom setiap sel di dalam tubuh manusia. Jika 1 gen hilang atau cacat, bisa terjadi kelainan bawaan.

6.  Faktor mekanik

Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin dapat menyebabkan kelainan hentuk organ tubuh hingga menimbulkan deformitas organ cersebut. Faktor predisposisi dalam pertumbuhan organ itu sendiri akan mempermudah terjadinya deformitas suatu organ. Sebagai contoh deformitas organ tubuh ialah kelainan talipes pada kaki sepcrti talipes varus, talipes valgus, talipes equinus dan talipes equinovarus (clubfoot)

Faktor infeksi.

Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi yang terjadi pada periode organogenesis yakni dalam trimester pertama kehamilan. Adanya infeksi tertentu dalam periode organogenesis ini dapat menimbulkan gangguan dalam pertumbuhan suatu organ rubuh. Infeksi pada trimesrer pertama di samping dapat menimbulkan kelainan kongenital dapat pula meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus. Sebagai contoh infeksi virus pada trimester pertama ialah infeksi oleb virus Rubella. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita infeksi Rubella pada trimester pertama dapat menderita kelainan kongenital pada mata sebagai katarak, kelainan pada sistem pendengaran sebagai tuli dan ditemukannya kelainan jantung bawaan.

 

 

 

 

Beberapa infeksi lain pada trimester pertama yang dapat menimbulkan kelainan kongenital antara lain ialah infeksi virus sitomegalovirus, infeksi toksoplasmosis, kelainan-kelainan kongenital yang mungkin dijumpai ialah adanya gangguan pertumbuhan pada system saraf pusat seperti hidrosefalus, mikrosefalus, atau mikroftalmia.

 

PERJALANAN PEWARISAN KELAINAN GENETIK

 

Autosom dominan

Jika suatu kelainan atau penyakit timbul meskipun hanya terdapat 1 gen yang cacat dari salah satu orang tuanya, maka keadaannya disebut autosom dominan. Contohnya adalah akondroplasia dan sindroma Marfan.

Autosom resesif

Jika untuk terjadinya suatu kelainan bawaan diperlukan 2 gen yang masing-masing berasal dari kedua orang tua, maka keadaannya disebut autosom resesif.

Contohnya adalah penyakit Tay-Sachs atau kistik fibrosis.

X-linked

Jika seorang anak laki-laki mendapatkan kelainan dari gen yang berasal dari ibunya, maka keadaannya disebut X-linked, karena gen tersebut dibawa oleh kromosom X. Laki-laki hanya memiliki 1 kromosom X yang diterima dari ibunya (perempuan memiliki 2 kromosom X, 1 berasal dari ibu dan 1 berasal dari ayah), karena itu gen cacat yang dibawa oleh kromosom X akan menimbulkan kelainan karena laki-laki tidak memiliki salinan yang normal dari gen tersebut. Contohnya adalah hemofilia dan buta warna.

 

 

 

 

Kelainan pada jumlah ataupun susunan

Suatu kesalahan yang terjadi selama pembentukan sel telur atau sperma bisa menyebabkan bayi terlahir dengan kromosom yang terlalu banyak atau terlalu sedikit, atau bayi terlahir dengan kromosom yang telah mengalami kerusakan. Contoh dari kelainan bawaan akibat kelainan pada kromosom adalah sindroma Down. Semakin tua usia seorang wanita ketika hamil (terutama diatas 35 tahun) maka semakin besar kemungkinan terjadinya kelainan kromosom pada janin yang dikandungnya.

Mutasi Genetik

Perubahan pada gen yang bersifat spontan dan tidak dapat dijelaskan. Meskipun bisa dilakukan berbagai tindakan untuk mencegah terjadinya kelainan bawaan, ada satu hal yang perlu diingat yaitu bahwa suatu kelainan bawaan bisa saja terjadi

meskipun tidak ditemukan riwayat kelainan bawaan baik dalam keluarga ayah ataupun ibu, atau meskipun orang tua sebelumnya telah melahirkan anak-anak yang sehat.

 

GEJALA

Kelainan bawaan menyebabkan gangguan fisik atau mental atau bisa berakibat fatal. Terdapat lebih dari 4.000 jenis kelainan bawaan, mulai dari yang ringan sampai yang serius, dan meskipun banyak diantaranya yang dapat diobati maupun disembuhkan, tetapi kelainan bawaan tetap merupakan penyebab utama dari kematian pada tahun pertama kehidupan bayi.

 

 

 

 

 

 

MACAM-MACAM KELAINAN KONGENITAL

Celah bibir atau langit-langit mulut (sumbing)

Terjadi jika selama masa perkembangan janin, jaringan mulut atau bibir tidak terbentuk sebagaimana mestinya.Bibir sumbing adalah suatu celah diantara bibir bagian atas dengan hidung.Langit-langit sumbing adalah suatu celah diantara langit-langit mulut dengan rongga hidung.

 

Defek tabung saraf

Terjadi pada awal kehamilan, yaitu pada saat terbentuknya bakal otak dan korda spinalis.Dalam keadaan normal, struktur tersebut melipat membentuk tabung pada hari ke 29 setelah pembuahan. Jika tabung tidak menutup secara sempurna, maka akan terjadi defek tabung saraf. Bayi yang memiliki kelainan ini banyak yang meninggal di dalam kandungan atau meninggal segera setelah lahir.  2 macam defek tabung saraf yang paling sering ditemukan:

Spina bifida, terjadi jika kolumna spinalis tidak menutup secara sempurna di sekeliling korda spinalis.

Anensefalus, terjadi jika beberapa bagian otak tidak terbentuk.

Kelainan jantung

Defek septum atrium dan ventrikel (terdapat lubang pada dinding yang meimsahkan jantung kiri dan kanan)

Patent ductus arteriosus (terjadi jika pembuluh darah yang penting pada sirkulasi janin ketika masih berada di dalam rahim; setelah bayi lahir, tidak menutup sebagaimana mestinya)

Stenosis katup aorta atau pulmonalis (penyempitan katup aorta atau katup pulmonalis)

 

 

 

 

Koartasio aorta (penyempitan aorta)

Transposisi arteri besar (kelainan letak aorta dan arteri pulmonalis)

Sindroma hipoplasia jantung kiri (bagian jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh tidak terbentuk sempurna)

Tetralogi Fallot (terdiri dari stenosis katup pulmonalis, defek septum ventrikel, transposisiarteribesardanhipertrofiventrikelkanan). Pemakaian obat tertentu pada kehamilan trimester pertama berperan dalam terjadinya kelainan jantung bawaan (misalnya obat anti-kejang fenitoin, talidomid dan obat kemoterapi).

Penyebab lainnya adalah pemakaian alkohol, rubella dan diabetes selama hamil.

 

Cerebral palsy

Biasanya baru diketahui beberapa minggu atau beberapa bulan setelah bayi lahir, tergantung kepada beratnya kelainan.

Clubfoot

Istilah clubfoot digunakan untuk menggambarkan sekumpulan kelainan struktur pada kaki dan pergelangan kaki, dimana terjadi kelainan pada pembentukan tulang, sendi, otot dan pembuluh darah.

Dislokasi panggul bawaan

Terjadi jika ujung tulang paha tidak terletak di dalam kantung panggul.

Hipotiroidisme kongenital

Terjadi jika bayi tidak memiliki kelenjar tiroid atau jika kelenjar tiroid tidak terbentuk secara sempurna.

 

 

 

Fibrosis kistik

Penyakit ini terutama menyerang sistem pernafasan dan saluran pencernaan.Tubuh tidak mampu membawa klorida dari dalam sel ke permukaan organ sehingga terbentuk lendir yang kental dan lengket.

Defek saluran pencernaan

Saluran pencernaan terdiri dari kerongkongan, lambung, usus halus dan usus besar, rektum serta anus.

Diantaranya adalah:

Atresia esofagus (kerongkongan tidak terbentuk sempurna)

Hernia diafragmatika

Stenosis pilorus

Penyakit Hirschsprung

Gastroskisis dan omfalokel

Atresia anus

Atresia bilier

Sindroma Down

Merupakan sekumpulan kelainan yang terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dengan kelebihan kromosom nomor 21 pada sel-selnya.Mereka mengalami keterbelakangan mental dan memiliki wajah dan gambaran fisik lainnya yang khas; kelainan ini sering disertai dengan kelainan jantung.

Fenilketonuria

Merupakan suatu penyakit yang mempengaruhi pengolahan protein oleh tubuh dan bisa menyebabkan keterbelakangan mental.  Bayi yang terlahir dengan fenilketonuria tampak normal, tetapi jika tidak diobati mereka akan mengalami gangguan perkembangan yang baru terlihat ketika usianya mencapai 1 tahun

 

 

Sindroma X yang rapuh

Sindroma ini ditandai dengan gangguan mental, mulai dari ketidakmampuan belajar sampai keterbelakangan mental, perilaku autis dan gangguan pemusatan perhatian serta hiperaktivitas.Gambaran fisiknya khas, yaitu wajahnya panjang, telinganya lebar, kakinya datar dan persendiannya sangat lentur (terutama sendi pada jari tangan).Sindroma ini lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki.

Distrofi otot

Distrofi otot adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan lebih dari 40 macam penyakit otot yang berlainan, yang kesemuanya ditandai dengan kelemahan dan kemunduran yang progresif dari otot-otot yang mengendalikan pergerakan.

Anemia sel sabit

Merupakan suatu kelainan sel darah merah yang memiliki bentuk abnormal (seperti bulan sabit), yang menyebabkan anemia kronis, serangan nyeri dan gangguan kesehatan lainnya.

Penyakit Tay-Sachs

Penyakit ini menyerang sistem saraf pusat dan menyebabkan kebutaan, demensia, kelumpuhan, kejang dan ketulian.

Sindroma alkohol pada janin

Sindroma ini ditandai dengan keterlambatan pertumbuhan, keterbelakangan mental, kelainan pada wajah dan kelainan pada sistem saraf pusat.

 

 

 

 

 

ALZEIMER

Atau sering disebut dengan  kepikunan merupakan sejenis penyakit penurunan fungsi saraf otak yang kompleks dan progresif. Penyakit

Alzheimer bukannya sejenis penyakit menular.Penyakit Alzheimer adalah keadaan di mana daya ingatan seseorang merosot dengan parahnya sehingga pengidapnya tidak mampu mengurus diri sendiri. Penyakit Alzheimer bukannya ‘kekanak-kanakan karena usia tua’ yang sekadar suatu proses penuaan. Sebaliknya, adalah sejenis masalah kesehatan yang amat menyiksa dan perlu diberikan perhatian.

Alzheimer digolongkan ke dalam salah satu dari jenis nyanyuk (dementia) yang dicirikan dengan melemahnya percakapan, kewarasan, ingatan, pertimbangan, perubahan kepribadian dan tingkah laku yang tidak terkendali.Keadaan ini amat membebani bukan saja kepada pengidapnya, malah anggota keluarga yang menjaga. Penyakit Alzheimer yang menurunkan fungsi memori ini juga menjejaskan fungsi intelektual dan sosial penghidapnya.Biasanya, anggota keluarga hanya datang membawa orang yang sakit berjumpa dokter apabila mereka sudah tidak tahan dengan gejala orang yang sakit.Hasil bedah pengamatan, Alzheimer mendapati Syaraf otak tersebut bukan saja mengecut, malah dipenuhi dengan gumpalan protein yang luar biasa yang disebut plak amiloid dan serat yang berbelit-belit (neuro fibrillary).Amiloid protein yang membentuk sel-sel plak protein, dipercaya menyebabkan perubahan kimia otak. Musnahnya sel-sel saraf ini menyebabkan syaraf otak yang berfungsi menyampaikan pesan dari satu neuron ke neuron lain terpengaruh.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Http://newbornclinic.wordpress.com/2009/04/19/faktor-resiko-dan-penyebab-kelainan-bawaan-pada-bayi-baru-lahir. Diakses Pada tanggal 14 Juni 2010. Jam 14.20

 

Http://www.angelfire.com/ga/RachmatDSOG/congenital.html. Diakses pada tanggal 14 Juni 2010. Jam 15.00.

 

Http://revias-clinics.blogspot.com/2010/05/kelainan-kongenital-skeletal-dan.html. Diakses pada tanggal 15 Juni 2010. Jam 13.00

 

Http://Apotik online dan media informasi obat – penyakit : medicastore. com. Diakses pada tanggal 15 Juni 2010. Jam 13.50.

 

Guss,D.A(1994).”The acquired immune deficiency syndrome: an overview for the emergency physician, part 1”.J. Emerg.Med.12(3):376-389.PubMed.

 

Suryo,2001. “Genetika manusia”. UGM Press .Yogyakarta.

 

Holmes,C.B., Losina. E.,Walensky,R.P., Yazdanpanah, Y.,Freedberg, K. A.(2003).

“Review  of  human immunedefeciency virus type 1-related opportunistic infection

In sub-Saharan Africa”.Clin. Infect.Dis. 36(5):656-666.PubMed.

 

 

 

 

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN KEJANG DEMAM

ASUHAN KEPERAWATAN

ANAK DENGAN KEJANG DEMAM

  1. PENGERTIAN
    1. Kejang demam : bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu tubuh rectal di atas 38o C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (Mansjoer, A.dkk. 2000: 434)
    2. Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang bersifat sementara (Hudak and Gallo,1996).
    3. Kejang demam adalah serangan pada anak yang terjadi dari kumpulan gejala dengan demam (Walley and Wong’s edisi III,1996).
    4. Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38° c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A. Price, Latraine M. Wikson, 1995).

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yaitu 38o C yang sering di jumpai pada usia anak dibawah lima tahun.

  1. ETIOLOGI

Menurut Mansjoer, dkk (2000: 434) Lumban Tobing (1995: 18-19) dan Whaley and Wong (1995: 1929)

  1. Demam itu sendiri

Demam yang disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih, kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi.

  1. Efek produk toksik daripada mikroorganisme
  2. Respon alergik atau keadaan umum yang abnormal oleh infeksi.
  3. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit.
  4. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan, yang tidak diketahui atau enselofati toksik sepintas.

Menurut staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI (1985: 50), faktor presipitasi kejang demam: cenderung timbul 24 jam pertama pada waktu sakit demam atau dimana demam mendadak tinggi karena infeksi pernafasan bagian atas. Demam lebih sering disebabkan oleh virus daripada bakterial.

  1. PATOFISIOLOGI

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel/organ otak diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yaitu glukosa sifat proses ini adalah oksidasi dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sestem kardiovaskuler.

Dari uraian di atas, diketahui bahwa sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel yang dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit oleh natrium (Na+) dan elektrolit lainnya kecuali ion klorida (Cl). Akibatnya konentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan ion Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena keadaan tersebut, maka terjadi perbedaan potensial membran yang disebut potesial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na – K Atp – ase yang terdapat pada permukaan sel.

Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. Rangsangan yang datangnya mendadak seperti mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya dan perubahan patofisiologi dan membran sendiri karena penyakit atau keturunan.

Pada demam, kenaikan suhu 1o C akan mengakibatkan kenaikan suhu 1o C akan mengakibatkan metabolisme basal 10 – 15 % dan kebutuhan O2 meningkat 20 %.

Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa (hanya 15%) oleh karena itu, kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion kalium dan natrium melalui membran listrik. Ini demikian besarnya sehingga meluas dengan seluruh sel dan membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang tersebut ”neurotransmitter” dan terjadi kejang.

Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38o C dan anak dengan ambang kejang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40o C atau lebih, kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai apnea. Meningkatnya kebutuhan O2 dan untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, denyut jantung yang tidak teratur dan makin meningkatnya suhu tubuh karena tingginya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otek meningkat. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul oedema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak (Hasan dan Alatas, 1985: 847 dan Ngastiyah, 1997: 229)

  1. MANIFESTASI KLINIS

Kebanyakan kejang demam berlangsung singkat, bilateral, serangan berupa klonik atau tonik-klonik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf. Kejang demam dapat berlangsung lama dan atau parsial. Pada kejang yang unilateral kadang-kadang diikuti oleh hemiplegi sementara (Todd’s hemiplegia) yang berlangsung beberapa jam atau bebarapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiplegi yang menetap. (Lumbantobing,SM.1989:43)

Menurut Behman (2000: 843) kejang demam terkait dengan kenaikan suhu yang tinggi dan biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 39o C atau lebih ditandai dengan adanya kejang khas menyeluruh tionik klonik lama beberapa detik sampai 10 menit. Kejang demam yang menetap > 15 menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik selain itu juga dapat terjadi mata terbalik ke atas dengan disertai kekakuan dan kelemahan serta gerakan sentakan terulang.

  1. PENATALAKSANAAN

Menurut Ngastiyah (1997: 232-235) dan Hassan & Alatas (195: 850-854) ada 4 faktor yang perlu dikerjakan :

  1. Segera diberikan diezepam intravena             dosis rata-rata 0,3mg/kg

Bila kejang tidak berhenti tunggu 15 menit

≥ 10 kg = 10 mg

atau diazepam rektal                                  dosis ≤ 10 kg = 5mg/kg

Kejang berhenti

dapat diulangi dengan dosis/cara yang sama

berikan dosis awal fenobaritol

neonatus =30 mg IM

1 bln-1 thn=50 mg IM

>1 thn=75 mg IM

Pengobatan rumat

4 jam kemudian

Hari I+II = fenobaritol 8-10 mg/kg dibagi dlm 2 dosis

Hari berikutnya = fenobaritol 4-5 mg/kg dibagi dlm 2 dosis

Bia diazepam tidak tersedia langsung memakai fenobarbital dengan dosis awal selanjutnya diteruskan dengan dosis rumat.

  1. Membebaskan jalan nafas, oksigenasi secukupnya
  2. Meurunkan panas bila demam atau hipereaksi, dengan kompres seluruh tubuh dan bila telah memungkinkan dapat diberikan parasetamol 10 mg/kgBB/kali kombinasi diazepam oral 0,3 mg/kgBB
  3. memberikan cairan yang cukup bila kejang berlangsung cukup lama (> 10 menit) dengan IV : D5 1/4,  D5 1/5, RL.

Ada juga penatalaksanaan yang lain yaitu:

  1. Bila etiologi telah diketahui pengobatan terhadap penyakit primer segera dilakukan. Bila terdapat hipogikemia, beri larutan glukosa 20 % dengan dosis 2 – 4 ml/kg BB secara intravena dan perlahan kemudian dilanjutkan dengan larutan glukosa 10 % sebanyak 60 – 80 ml/kg secara intravena. Pemberian Ca – glukosa hendaknya disertai dengan monitoring jantung karena dapat menyebabkan bradikardi. Kemudian dilanjutkan dengan peroral sesuai kebutuhan. Bila secara intravena tidak mungkin, berikan larutan Ca glukosa 10 % sebanyak 10 ml per oral setiap sebelum minum susu.
  2. Bila kejang tidak hilang, harus pikirkan pemberian magnesium dalam bentuk larutan 50% Mg SO4 dengan dosis 0,2 ml/kg BB (IM) atau larutan 2-3 % mg SO4 (IV) sebanyak 2 – 6 ml. Hati-hati terjadi hipermagnesemia sebab gejala hipotonia umum menyerupai floppy infant dapat muncul.
  3. Pengobatan dengan antikonvulsan dapat dimulai bila gangguan metabolik seperti hipoglikemia atau hipokalsemia tidak dijumpai. Obat konvulsan pilihan utama untuk bayi baru lahir adalah Fenobarbital (Efek mengatasi kejang, mengurangi metabolisme sel yang rusak dan memperbaiki sirkulasi otak sehingga melindungi sel yang rusak karena asfiksia dan anoxia). Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg . kg BB IV berikan dalam 2 dosis selama 20 menit.
  1. KLASIFIKASI

Menurut Ngastiyah ( 1997: 231), klasikfikasi kejang demam adalah

  1. Kejang demam sederhana

yaitu kejang berlangsung kurang dari 15 menit dan umum. Adapun pedoman untuk mendiagnosa kejang demam sederhana dapat diketahui melalui criteria Livingstone, yaitu :

    1. umur anak ketika kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun
    2. kejang berlangsung hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit.
    3. Kejang  bersifat umum
    4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbul demam.
    5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kjang normal
    6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukan kelainan.
    7. Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali
  1. Kejang kompleks

Kejang kompleks adalah tidak memenuhi salah satu lebih dari ketujuh criteria Livingstone. Menurut Mansyur ( 2000: 434) biasanya dari kejang kompleks diandai dengan kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit, fokal atau multiple ( lebih dari 1 kali dalam 24jam). Di sini anak sebelumnya dapat mempunyai kelainan neurology atau riwayat kejang dalam atau tanpa kejang dalam riwayat keluarga.

  1. KOMPLIKASI

Menurut Lumbantobing ( 1995: 31) Dan Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI (1985: 849-850). Komplikasi kejang demam umumnya berlangsung lebih dari 15 menit yaitu :

  1. Kerusakan otak

Terjadi melalui mekanisme eksitotoksik neuron saraf yang aktif sewaktu kejang melepaskan glutamat yang mengikat resptor MMDA ( M Metyl D Asparate ) yang mengakibatkan ion kalsium dapat masuk ke sel otak yang merusak sel neuoran secara irreversible.

  1. Retardasi mental
  2. PENCEGAHAN

Menurut Ngastiyah ( 1997: 236-239) pencegahan difokuskan pada pencegahan kekambuhan berulang dan penegahan segera saat kejang berlangsung.

  1. Pencegahan berulang
    1. Mengobati infeksi yang mendasari kejang
    2. Penkes tentang

1)      Tersedianya obat penurun panas yang didapat atas resep dokter

2)      Tersedianya obat pengukur suhu dan catatan penggunaan termometer, cara pengukuran suhu tubuh anak, serta keterangan batas-batas suhu normal pada anak ( 36-37ºC)

3)        Anak diberi obat anti piretik bila orang tua mengetahuinya pada saat mulai demam dan jangan menunggu sampai meningkat

4)        Memberitahukan pada petugas imunisasi bahwa anaknya pernah mengalami kejang demam bila anak akan diimunisasi.

  1. Mencegah cedera saat kejang berlangsung kegiatan ini meliputi :
    1. Baringkan pasien pada tempat yang rata
    2. Kepala dimiringkan unutk menghindari aspirasi cairan tubuh
    3. Pertahankan lidah untuk tidak menutupi jalan napas
    4. Lepaskan pakaian yang ketat
    5. Jangan melawan gerakan pasien guna menghindari cedera
  1. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Menurut Komite Medik RSUP Dr. sardjito ( 2000:193) dan LUmbantobing dan Ismail (1989 :43), pemeriksaannya adalah :

  1. EEG

Pemeriksaan EEG dibuat 10-14 hari setelah bebas panas tidak menunjukan kelainan likuor. Gelombang EEG lambat didaerah belakang dan unilateral menunjukan kejang demam kompleks.

  1. Lumbal Pungsi

Tes ini untuk memperoleh cairan cerebrospinalis dan untuk mengetahui keadaan lintas likuor. Tes ini dapaat mendeteksi penyebab kejang demam atau kejang karena infeksi pada otak.

–          Pada kejang demam tidak terdapat gambaran patologhis dan pemeriksaan lumbal pungsi

–          Pada kejang oleh infeksi pada otak ditemukan  :

1)      Warna cairan cerebrospinal : berwarna kuning, menunjukan pigmen kuning santokrom

2)      Jumlah cairan dalam cerebrospinal menigkat lebih dari normal (normal bayi 40-60ml, anak muda 60-100ml, anak lebih tua 80-120ml dan dewasa 130-150ml)

3)      Perubahan biokimia : kadar Kalium menigkat ( normal dewasa 3.5-5.0 mEq/L, bayi 3.6-5.8mEq/L)

KONSEP DASAR KEPERAWATAN

  1. PENGKAJIAN

Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien dengan kejang demam menurut Greenberg (1980 : 122 – 128)

  1. Riwayat Keperawatan
    1. Adanya riwayat kejang demam pada pasien dan keluarga
    2. Adanya riwayat infeksi seperti saluran pernafasan atis, OMA, pneumonia, gastroenteriks, Faringiks, brontrope, umoria, morbilivarisela dan campak.
    3. Adanya riwayat peningkatan suhu tubuh
    4. Adanya riwayat trauma kepala
    5. Pengkajian fisik
      1. Adanya peningkatan : suhu tubuh, nadi, dan pernafasan, kulit teraba hangat
      2. Ditemukan adanya anoreksia, mual, muntah dan penurunan berat badan
      3. Adanya kelemahan dan keletihan
      4. Adanya kejang
      5. Pada pemeriksaan laboratorium darah ditemukan adanya peningkatan kalium, jumlah cairan cerebrospiral meningkat dan berwarna kuning
      6. Riwayat Psikososial atau Perkembangan
        1. Tingkat perkembangan anak terganggu
        2. Adanya kekerasan penggunaan obat – obatan seperti obat penurun panas
        3. Pengalaman tantang perawatan sesudah/ sebelum mengenai anaknya pada waktu sakit.
        4. Pengetahuan keluarga
          1. Tingkatkan pengetahuan keluarga yang kurang
          2. Keluarga kurang mengetahui tanda dan gejala kejang demam
          3. Ketidakmampuan keluarga dalam mengontrol suhu tubuh
          4. Keterbatasan menerima keadaan penyakitnya
  1. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Menurut Doengoes, dkk (1999 : 876), Angram (1999 : 629 – 630) dan carpenito (2000 : 132), diagnosa yang mungkin muncul pada pasien dengan kejang demam

  1. Resiko tinggi terhadap cidera b.d aktivitas kejang
  2. Hipertermi bd efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus
  3. Perfusi jaringan cerebral tidak efektif  bd reduksi aliran darah ke otak
  4. Kurang pengetahuan orang tua tentang kondisi, prognosis, penatalaksanaan dan kebutuhan pengobatan bd kurangnya informasi
  1. INTERVENSI KEPERAWATAN

DX 1      : Resiko tinggi terhadap cidera b.d aktivitas kejang

Tujuan  : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama poroses keperawatan diharapkan resiko cidera dapat di hindari, dengan kriteria hasil

NOC: Pengendalian Resiko

  1. Pengetahuan tentang resiko
  2. Monitor lingkungan yang dapat menjadi resiko
  3. Monitor kemasan personal
  4. Kembangkan strategi efektif pengendalian resiko
  5. Penggunaan sumber daya masyarakat untuk pengendalian resiko

Indkator skala :

1 = tidak adekuat

2 = sedikit adekuat

3 = kadang-kadan adekuat

4 = adekuat

5 = sangat adekuat

NIC : mencegah jatuh

  1. identifikasi faktor kognitif atau psikis dari pasien yang dapat menjadiakn potensial jatuh dalam setiap keadaan
  2. identifikasi mkarakteristik dari lingkungan yang dapat menjadikan potensial jatuh
  3. monitor cara berjalan, keseimbangan dan tingkat kelelahan dengan ambulasi
  4. instruskan pada pasien untuk memanggil asisten kalau mau bergerak

DX 2         : Hipertermi b.d efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan suhu dalam rentang norma

NOC :  Themoregulation

  1. Suhu tubuh dalam rentang normal
  2. Nadi dan RR dalam rentang normal
  3. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak warna kulit dan tidak pusing

Indicator skala

1.  : ekstrem

2   : berat

3   : sedang

4   : ringan

5   : tidak ada gangguan

NIC :   Temperatur regulation

  1. Monitor suhu minimal tiap 2 jam
  2. Rencanakan monitor suhu secara kontinyu
  3. Monitor tanda –tanda hipertensi
  4. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
  5. Monitor nadi dan RR

DX 3 : Perfusi jaringan cerebral tidakefektif berhubungan dengan reduksi  aliran darah ke otak

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan suplai darah ke otak dapat kembali normal , dengan kriteria hasil :

NOC : status sirkulasi

  1. TD sistolik dbn
  2. TD diastole dbn
  3. Kekuatan nadi dbn
  4. Tekanan vena sentral dbn
  5. Rata- rata TD dbn

Indicator skala :

1 = Ekstrem

2 = Berat

3 = Sedang

4 = Ringan

5 = tidak terganggu

NIC : monitor TTV:

  1. monitor TD, nadi, suhu, respirasi rate
  2. catat adanya fluktuasi TD
  3. monitor jumlah dan irama jantung
  4. monitor bunyi jantung
  5. monitor TD pada saat klien berbarning, duduk, berdiri

NIC II : status neurologia

  1. monitor tingkat kesadran
  2. monitor tingkat orientasi
  3. monitor status TTV
  4. monitor GCS

DX 4 : Kurang pengetahuan orang tua tentang kondisi, prognosis, penatalaksanaan

dan kebutuhan pengobatan b.d kurang informasi

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan keluarga mengerti tentang kondisi pasien

NOC :  knowledge ; diease proses

  1. Keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit kondisi prognosis dan program pengobatan
  2. Keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
  3. Keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/ tim kesehatan lainya

Indicator skala :

  1. Tidak pernah dilakukan
  2. Jarang dilakukan
  3. Kadang dilakukan
  4. Sering dilakukan
  5. Selalu dilakukan

NIC :   Teaching : diease process

  1. Berikan penilaian tentang penyakit pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang spesifik
  2. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi fisiologi dengan cara yang tepat
  3. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat
  4. Identifikasikan kemungkinan dengan cara yang tepat
  1. EVALUASI
Dx

Kriteria hasil

Keterangan skala

1

  1. Pengetahuan tentang resiko
  2. Monitor lingkungan yang dapat menjadi resiko
  3. Monitor kemasan personal
  4. Kembangkan strategi efektif pengendalian resiko
  5. Penggunaan sumber daya masyarakat untuk pengendalian resiko
1 = tidak adekuat

2 = sedikit adekuat

3 = kadang-kadan adekuat

4 = adekuat

5 = sangat adekuat

2

  1. Suhu tubuh dalam rentang normal
  2. Nadi dan RR dalam rentang normal
  3. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak warna kulit dan tidak pusing

1.  : ekstrem

2   : berat

3   : sedang

4   : ringan

5   : tidak ada gangguan

3

  1. TD sistolik dbn
  2. TD diastole dbn
  3. Kekuatan nadi dbn
  4. Tekanan vena sentral dbn
  5. Rata- rata TD dbn

1 = Ekstrem

2 = Berat

3 = Sedang

4 = Ringan

5 = tidak terganggu

4

  1. Keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit kondisi prognosis dan program pengobatan
  2. Keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
  3. Keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/ tim kesehatan lainya
  1. Tidak pernah dilakukan
  2. Jarang dilakukan
  3. Kadang dilakukan
  4. Sering dilakukan
  5. Selalu dilakukan

 

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 1989. Perawatan Bayi Dan Anak. Ed 1. Jakarta : Pusat Pendidikan Tenaga

Kesehatan.

Lumbantobing,SM.1989.Penatalaksanaan Muthakhir Kejang Pada Anak.Jakarta : FKUI

Sachann, M Rossa. 1996. Prinsip Keperawatan Pediatric. Jakarta : EGC.

Suriadi, dkk2001. Askep Pada Anak. Jakarta. Pt Fajar Interpratama.

Sataf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2000. Buku Kuliah Dua Ilmu Kesehatan

Anak. Jakarta : Percetakan Info Medika Jakarta

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit, ed 2.  Jakarta: EGC.

Hidayat, aziz alimun. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : Salemba.

askep emfisema

  1. A.   PENGERTIAN

            Emfisema adalah perubahan anatomis paremkim paru yang biasanya ditandai dengan perbesaran alveolus dan duktus alveolaris serta          destruksi dinding alveolus (Price).

Emfisema adalah penyakit obstruksi kronik akibat berkurangnya      elastisitas paru dan luas permukaan alveolus (Corwin).

            Emfisema kronik adalah penyakit yang ditandai dengan pelebaran dari alveoli yang diikuti oleh destruksi dari dinding alveoli. Biasanya terdapat bersamaan dengan bronchitis kronik, akan tetapi dapat pula berdiri sendiri. Penyebabnya juga sama dengan bronchitis, antara lain pada perokok. Akan tetapi pada yang hedediter, dimana terjadi kekurangan pada globulin alfa antitrypsin yang diikuti oleh fibrosis, maka emfisema muncul pada lobus bawah pada usia muda tanpa harus terdapat bronchitis kronik. (Tabrani Rab, 2006)

            Emfisema paru dapat pula terjadi setelah atelektasis atau setelah lobektomi, yang disebut emfisema kompensasi dimana tanpa didahului dengan bronchitis kronik dahulu. Kebanyakan emfisema terjadi pada daerah distal dari bronkus, terutama pada asma bronchial. Penyempitan bronkus kadang kala menimbulkan perangkap udara (air tapering), dimana udara dapat masuk tetapi tidak keluar, sehingga menimbulkan emfisema yang akut. Frekuensi emfisema lebih banyak pada pria daripada wanita. (Tabrani Rab, 2006)

Emfisema paru adalah suatu keadaan abnormal pada anatomi paru dengan adanya kondisi klinis berupa melebarnya saluran udara bagian distal bronkiolus terminal yang disertai dengan kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini meupakan tahap akhir proses yang mengalami kemajuan dengan lambat selama beberapa tahun. Pada kenyataannya, ketika klien mengalami gejala emfisema, fungsi paru sudah sering mengalami kerusakan permanen (irreversible) yang disertai dengan bronchitis obstruksi kronis. Kondisi ini merupakan penyebab utama kecacatan. (Arif Muttaqin, 2008)

Yang menjadi pokok utama pada emfisema adalah adanya hiperinflasi dari paru yang bersifat irreversible dengan konsekuensi rongga toraks berubah menjadi gembung atau barrel chest. Gabungan dari alveoli yang pecah dapat menimbulkan bula yang besar yang kadang-kadang memberikan gambaran seperti pneumotoraks. (Tabrani Rab, 2006)

  1. B.   ETIOLOGI

(Menurut Arif Muttaqin , 2008)

Berikut ini merupakan penyebab dari emfisema adalah:

  1. Merokok

Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungan yang erat antara merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV) (Nowak, 2004).

  1. Keturunan

Belum diketahui jelas apakah factor keturunan berperan atau tidak pada emfisema kecuali pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Kerja enzim ini menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah. Defisiensi alfa 1-antitripsin adalah suatu kelainan yang diturunkan secara autosom resesif. Orang yang sering menderita emfisema paru adalah penderita yang memiliki gen S atau Z. Emfisema paru akan lebih cepat timbul bila penderita tersebut merokok.

  1. Infeksi

Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala-gejalanya pun menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernapasan atas pada seseorang penderita bronchitis kronis hamper selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, dan menyebabkan kerusakan paru bertambah. Eksaserbasi bronchitis kronis disangka paling sering diawali dengan infeksi virus, yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.

  1. Hipotesis Elastase – Antielastase

Di dalam paruterdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase agar tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan antara keduanya akan menimbulkan kerusakan pada jaringan elastic paru. Struktur paru akan berubah dan timbullah emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pancreas, sel-sel PMN, dan makrofag alveolar (pulmonary alveolar macrophage-PAM). Rangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok dan infeksi virus menyebabkan elastase virus bertambah banyak. Aktivitas system antielastase, yaitu system enzim alfa 1-protease-inhibitor terutama enzim alfa 1-antitripsin menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru dan kemudian emfisema.

  1. C.   PATOFISIOLOGI

(Menurut Arif Muttaqin, 2008)

Adanya inflamasi, pembengkakan bronchi, produksi lendir yang berlebihan, kehilangan recoil elastisitas jalan napas, dan kolaps bronkhiolus, serta penurunan redistribusi udara ke alveoli menimbulkan gejala sesak pada klien dengan emfisema.

Pada paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru ke luar (yang disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada) dengan tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam (elastisitas paru). Keseimbangan timbul antara kedua tekanan tersebut, volume paru yang terbentuk disebut sebagai functional residual capacity (FRC) yang normal. Bila elastisitas paru berkurang timbul keseimbangan baru dan menghasilkan FRC yang lebih besar. Volume residu bertambah pula, tetapi VC menurun. Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang, sehingga saluran pernapasan bagian bawah paru akan tertutup.

Pada klien dengan emfisema, saluran-saluran pernapasan tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernapasan menutup dan dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Namun semua itu bergantung pada kerusakannya. Mungkin saja terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada, tetapi perfusinya baik sehingga penyebarannya udara pernapsan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Atau dapat dikatakan juga tidak ada keseimbangan antara ventilasi dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama)

Pada tahap akhir penyakit, system eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri (hiperkapnea) dan  menyebabkan asidosis respiratorik. Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, maka jaringan-jaringan kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam area pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (edema dependen), distensi vena jugularis, atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung (Nowak, 2004).

Sekresi yang meningkat dan tertahan menyebabkan klien tidak mampu melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis menetap dalam paru yang mengalami emfisema, ini memperberat masalah. Individu dengan emfisema akan mengalami obstruksi kronis yang ditandai oleh peningkatan tahanan jalan napas aliran masuk dan aliran keluar udara dari paru. Jika demikian, paru berada dalam keadaan hiperekspansi kronis.

Untuk mengalirkan udara ke dalam dan ke luar paru dibutuhkan tekanan negative selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat adekuat yang harus dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi berlangsung. Kinerja ini membutuhkan kerja keras otot-otot pernapasan yang berdampak pada kekuatan dada dan iga-iga terfiksasi pada persendiannya dengan bermanifestasi pada perubahan bentuk dada dimana rasio diameter AP:Transferal mengalami peningkatan (barrel chest). Hal ini terjadi akibat hilangnya elastisitasparu karena adanya kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.

Pada beberapa kasus, barrel chest terjadi akibat kifosis di mana tulang belakang bagian atas secara abnormal bentuknya membulat atau cekung. Beberapa klien membungkuk ke depan untuk dapat bernapas, menggunakan otot-otot bantu napas. Retraksi fosa supraklavikula yang terjadi pada inspirasi mengakibatkan bahu melengkung ke depan

  1. D.   PATHWAY
  1. E.   KLASIFIKASI

(Menurut Tabrani Rab, 2006)

Sebagai klinis diagnosis dari emfisema berdasarkan atas:

  1. Pelebaran yang permanen dari sakus alveolaris. Pelebaran yang refersibel, seperti pada asma, yang disebabkan oleh karena terperangkapnya udara dan dapat kembali menjadi normal tidak digolongkan ke dalam emfisema.
  2. Pelebaran dari sakus alveolaris (asinus) dan rusaknya dinding alveoli merupakan gambaran normal pada usia lanjut dan perubahan fisiologi ini bukan merupakan emfisema.
  3. Yang terpenting pada emfisema adalah terdapatnya destruksi dari jaringan alveoli. Secara faal menyebabkan paru kehilangan recoilnya dan kehilangan pembuluh darah yang terdapat di unit paru tersebut, sehingga sebagian unit paru ini tidak berfungsi lagi dan diambil alih oleh unit paru yang lainnya.

Berdasarkan efek emfisema pada asinus maka emfisema dapat dibagi menjadi 4 tipe, yakni:

  1. Emfisema asinus distal atau disebut juga dengan emfisema paraseptal Lesi ini biasanya terjadi di sekitar septum lobules, bronkus, dan pembuluh darah atau di sekitar pleura maka mudah menimbulkan pneumotoraks pada orang muda.
  2. Emfisema sentrilobular disebut juga emfisema asinus proksimal atau emfisema bronkiolus respiratorius. Biasanya terjadi bersama-sama dengan pneumoconiosis atau penyakit-penyakit oleh karena debu lainnya. Penyakit ini erat hubungannya dengan perokok, bronchitis kronik, dan infeksi saluran napas distal. Penyakit ini sering didapat bersamaan dengan obstruksi kronik dan berbahaya bila terdapat pada bagian atas paru.
  3. Emfisema parasinar

Biasanya terjadi pada seluruh asinus. Secara klinis berhubungan erat dengan:

  1. Defisiensi alfa antitrypsin
  2. Bronkus dan bronkiolus obliterasi (biasanya lebih jarang)
  3. Emfisema irregular atau disebut juga dengan emfisema jaringan parut. Biasanya terlokalisir, bentuknya irregular dan tanpa gejala klinis. Salah satu bentuk emfisema yang lain adalah emfisema jaringan parut yang berbentuk irregular. Jaringan parut yang menyebabkan irregular dan emfisema ini berhubungan dengan tuberkulosa, histoplasmosis, dan pnemokoniosis. Begitu pula eosinofilik granuloma dalam bentuk irregular dan limfangileiomiomatosis.
  1. F.    TANDA DAN GEJALA

Gambaran

Emfisematosa

AwitanUsia saat didiagnosisSebab

Sputum

Dispnea

Rasio V/Q

Bentuk tubuh

Diameter AP dada

PA paru

Pola pernapasan

Volume paru-paru

PaCO2

PaO2

SaO2

Hematokrit

Polisetemia

Sianosis

Kor pulmoner

Usia 30-40 tahun±60 tahunFaktor-faktor yang tidak diketahui

Predisposisi genetic

Merokok

Polusi udara

Sedikit

Relatif dini

Ketidakseimbangan V/Q minimal

Kurus dan ramping

Sering berbentuk seperti tong

Emfisema panlobular

Hiperventilasi dan dispnea yang jelas, dapat timbul sewaktu istirahat

FEV1 rendah

TLC dan RV meningkat

Normal atau rendah (35-40 mmHg)

65-75 mmHg

Normal

35 sampai  45%

Hb dan Hct normal sampai tahap akhir

Jarang

Jarang kecuali tahap akhir

  1. G.  PENATALAKSANAAN

Klien dengan emfisema rentan terhadap infeksi paru dan harus diobati pada awal timbulnya ranch-ranch infeksi. Organisme yang paling umum menyebabkan infeksi tersebut adalah S. pneumonia, H.influenzae, dan Branhamella catarrhalis. Terapi antimikroba dengan tetrasiklin, amficilin, amoxicillin, atau trimetoprim-sulfametoxazol (bactrim) biasanya diresepkan. Regimen antimikroba digunakan pada tanda pertanda infeksi pernapasan seperti yang dibuktikan dengan adanya sputum purulen, batuk meningkat, dan demam.

Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid tetap controversial dalam pengobatan emfisema. Kortikosteroid digunakan untuk melebarkan bronkhiolus dan membuang sekresi setelah tindakan lain tidak menunjukkan hasil. Prednison biasanya diresepkan.

Dosis disesuaikan untuk menjaga klien pada dosis yang serendah mungkin. Efek samping jangka pendek termasuk gangguan gastrointestinal dan peningkatan nafsu makan. Pada jangka panjang, klien mungkin mengalami ulkus peptikum, osteoporosis, supresi adrenal, miopati steroid, dan pembentukan katarak.

Oksigenasi

Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada klien dengan emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi oksigen rendah untuk meningkatkan PaO2 hingga antara 65 dan 80 mmHg. Pada emfisema berat, oksigen diberikan sedikitnya 16 jm per hari, dengan 24 jam lebih baik. Modalitas ini dapat menghilangkan gejala-gejala klien dan memperbaiki kualitas hidup klien.

  1. H.  PENGKAJIAN KEPERAWATAN

(Menurut Arif Muttaqin, 2008)

Anamnesa

Dispnea adalah keluhan utama emfisema dan mempunyai serangan (onset) yang membahayakan. Klien biasanya mempunyai riwayat merokok, batuk kronis yang lama, mengi, serta nafas pendek dan cepat (takipnea). Gejala-gejala diperburuk oleh infeksi pernapasan. Perawat perlu mengkaji obat-obat yang biasa diminum klien, memeriksa kembali setiap jenis obat apakah masih relevan untuk digunakan kembali.

Pemeriksaan Fisik Fokus

  1. 1.      Inspeksi

Pada klien dengan emfisema terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan serta penggunaan otot bantu napas. Pada inspeksi, klien biasanya tampak mempunyai bentuk dada barrel chest (akibat udara yang terperangkap), penipisan massa otot, dan pernapasan dengan bibir dirapatkan. Pernapasan abnormal tidak efektik dan penggunaan otot-otot bantu napas (sternokleidomastoideus). Pada tahap lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dengan sputum purulen disertai demam mengindikasi adanya tanda pertama infeksi pernapasan

  1. Palpasi

Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun.

  1. 3.      Perkusi

Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma menurun.

  1. 4.      Auskultasi

Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing sesuai tingkat beratnya obstruktif pada bronkhiolus. Pada pengkajian lain, didapatkan kadar oksigen yang rendah (hipoksemia) dan kadar karbondioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut penyakit. Pada waktunya, bahkan gerakan ringan sekalipun seperti membungkuk untuk mengikatkan tali sepatu, mengakibatkan dispnea dan keletihan (dispnea eksersional). Paru yang mengalami emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi dan bronkhiolus tidak dikosongkan secara efektif dari sekresi yangf dihasillkan. Klien rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi akibat pengumpulan sekresi ini. Setelah infeksi ini terjadi, klien mengalami mengi yang berkepanjangan saat ekspirasi. Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan merupakan hal yang umum terjadi. Vena jugularis mungkin mengalami distensi selama ekspirasi.

  1. a.      Pemeriksaan Diagnostik
  2. 1.      Pengukuran Fungsi Paru (Spirometri)

Pengukuran fungsi paru biaasanya menunjukkan peningkatan kapasitas paru total (TLC) dan volume residual (RV). Terjadi penurunan dalam kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi paksa (FEV). Temuan-temuan ini menegaskan kesulitan yang dialami klien dalam mendorong udara ke luar dari paru.

  1. 2.      Pemeriksaan Laboratorium

Hemoglobin dan hematokrit mungkin normal pada tahap awal penyakit. Dengan berkembangnya penyakit, pemeriksaan gas darah arteri dapat menunjukkan adanya hipoksia ringan dengan hiperkapnea.

  1. 3.      Pemeriksaan Radiologis

Rontgen thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi, pendataran diafragma, pelebaran margin interkosta, dan jantung sering ditemukan bagai tergantung (heart till drop).

  1. I.      DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

(Menurut Muttaqin A,dkk,2006)

  1. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-perfusi.

Tujuan: Perbaikan dalam pertukaran gas.

Intervensi :

1)      Berikan bronkodilator sesuai yang diresepkan.

2)      Evaluasi tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB.

3)      Instruksikan dan berikan dorongan pada pasien pada pernapasan diafragmatik dan batuk efektif.

4)      Berikan oksigen dengan metode yang diharuskan.

Rasional:

1)      Bronkodilator mendilatasi jalan napas dan membantu melawan edema mukosa bronchial dan spasme muscular.

2)      Mengkombinasikan medikasi dengan aerosolized bronkodsilator nebulisasi biasanya digunakan untuk mengendalikan bronkokonstriksi.

3)      Teknik ini memperbaiki ventilasi dengan membuka jalan napas dan membersihkan jalan napas dari sputum. Pertukaran gas diperbaiki.

4)      Oksigen akan memperbaiki hipoksemia.

Evaluasi:

  1. Mengungkapkan pentingnya bronkodilator.
  2. Melaporkan penurunan dispnea.
  3. Menunjukkan perbaikan dalam laju aliran ekspirasi.
  4. Menunjukkan gas-gas darah arteri yang normal.
  1. Bersihan jalan nafas tidak efektif yang berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan produksi lendir, batuk tidak efektif, dan infeksi bronkopulmonal.

Tujuan : Pencapaian klirens jalan napas.

Intervensi :

1)      Beri pasien 6-8 gelas cairan/hari, kecuali terdapat kor pulmonal.

2)      Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmaik dan batuk.

3)      Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler, atau IPPB.

4)      Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan malam hari sesuai yang diharuskan.

5)      Instruksikan pasien untuk menghindari iritan, seperti asap rokok, aerosol, dan asap pembakaran.

6)      Berikan antibiotik sesuai yang diresepkan.

Rasional :

1)      Hidrasi sistemik menjaga sekresi tetap lembab dan memudahkan untuk pengeluaran.

2)      Teknik ini akan membantu memperbaiki ventilasi dan untuk menghasilkan sekresi tanpa harus menyebabakan sesak napas dan keletihan.

3)      Tindakan ini menambahakan air ke dalam percabangan bronchial dan pada sputum menurunkan kekentalannya, sehingga memudahkan evakuasi sekresi.

4)      Menggunakan gaya gravitasi untuk membantu membangkitkan sekresi sehingga sekresi dapat lebih mudah dibatukkan atau diisap.

5)      Iritan bronkial menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan pembentukan lendir, yang kemudian mengganggu klirens jalan napas.

6)      Antibiotik mungkin diresepkan untuk mencegah atau mengatasi infeksi.

Evaluasi :

  1.  Mengungkapkan pentingnya untuk minum 6-8 gelas per hari.
  2. Batuk berkurang.
  3. Jalan napas kembali efektif.
  1. Pola pernapasan tidak efektif yang berhubungan dengan napas pendek, lendir, bronkokonstriksi, dan iritan jalan napas.

Tujuan : perbaikan dalam pola pernapasan.

Intervensi :

1)        Ajarkan pasien pernapasan diafragmatik dan pernapasan bibir dirapatkan.

2)        Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode istirahat.

3)        Berikan dorongan penggunaan pelatihan otot-otot pernapasan jika diharuskan.

Rasional :

1)      Membantu pasien memperpanjang waktu ekspirasi. Dengan teknik ini pasien akan bernapas lebih efisien dan efektif.

2)      Memberikan jeda aktivias akan memungkinkan pasien untuk melakukan aktivitas tanpa distres berlebihan.

3)      Menguatkan dan mengkoordinasiakn otot-otot pernapasan.

Evaluasi :

  1. Melatih pernapasan bibir dirapatkan dan diafragmatik serta menggunakannya ketika sesak napas dan saat melakukan aktivitas.
  2. Memperlihatkan tanda-tanda penurunan upaya bernapas dan membuat jarak dalam aktivitas.
  3. Menggunakan pelatihan otot-otot inspirasi, seperti yang diharuskan.
  4. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.

Tujuan : kemandirian dalam aktivitas perawatn diri.

Intervensi :

1)      Ajarkan pasien untuk mengkoordinasikan pernapasan diafragmatik dengan aktivitas.

2)      Berikan pasien dorongan untuk mulai mandi sendiri, berpakaian sendiri, berjalan.

3)      Ajarkan tentang drainase postural bila memungkinkan.

Rasional :

1)       Akan memungkinkan pasien untuk lebih aktif dan untuk menghindari keletihan yang berlebihan atau dispnea selama aktivitas.

2)       Sejalan dengan teratasinya kondisi, pasien akan mampu melakukan lebih banyak namun perlu didorong untuk menghindari peningkatan ketergantungan.

3)       Memberikan dorongan pada pasien untuk terlibat dalam perawtan dirinya.

Evaluasi :

  1. Menggunakan pernapasan terkontrol ketika beraktivitas.
  2. Menguraikan strategi penghematan energi.
  3. Melakukan aktivitas perawatan diri seperti sebelumnya.
  1. Intoleran aktivitas akibat keletihan, hipoksemia, dan pola pernapasan tidak efektif.

Tujuan: perbaikan dalam toleran aktivitas.

Intervensi:

1)      Dukungan pasien dalam menegakkan regimen latihan teratur.

Rasional:

1)      Otot-otot yang mengalami kontaminasi membutuhkan lebih banyak oksigen dan memberikan beban tambahan pada paru-paru. Melalui latihan yang teratur, kelompok otot menjadi lebih terkondisi.

Evaluasi:

  1. Melakukan aktivitas dengan napas pendek lebih sedikit.
  2. Berjalan secara bertahap meningkatkan waktu dan jarak berjalan untuk memperbaiki kondisi fisik.
  1. Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah, dan ketidakmampuan untuk bekerja.

Tujuan: pencapaian tingkat koping yang optimal.

Intervensi:

1)      Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan semangat yng ditujukan kepada pasien.

2)      Dorongan aktivitas sampai tingkat toleransi gejala.

3)      Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi pasien.

Rasional:

1)      Suatu perasaan harapan akan memberikan pasien sesuatu yang dapat dikerjakan.

2)      Aktivitas mengurangi ketegangan dan mengurangi tingkat dispnea sejalan dengan pasien menjadi terkondisi.

3)      Relaksasi mengurangi stres dan ansietas dan membantu pasien untuk mengatasi ketidakmampuannya.

Evaluasi :

  1. Mengekspresikan minat di masa depan.
  2. Mendiskusikan aktivitas dan metode yang dapat dilakukan untuk menghilangkan sesak napas.
  3. Menggunakan teknik relaksasi dengan sesuai.
  1. Defisit pengetahuan tentang prosedur perawatan diri yang akan dilakukan di rumah.

Tujuan: kepatuhan dengan program terapeutik dan perawatan di rumah.

Intervensi:

1)      Bantu pasien mengerti tentang tujuan-tujuan jangka pendek dan jangka panjang.

2)      Diskusikan keperluan untuk berhenti merokok.

Rasional:

1)      Pasien harus mengetahui bahwa ada metoda dan rencana dimana ia memainkan peranan yang besar.

2)      Asap tembakau menyebabkan kerusakan pasti pada paru dan menghilangkan mekanisme proteksi paru-paru. Aliran udara terhambat dan kapasitas paru menurun.

Evaluasi:

  1. Mengerti tentang penyakitnya dan apa yang mempengarukinya.
  2. Berhenti merokok

DAFTAR PUSTAKA

 

Muttaqin,Arif.2008.Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.Jakarta:Salemba Medika.

Rab,Tabrani.2006.Ilmu Penyakit Paru.Jakarta:Hipokrutes.

Muttaqin,A.dkk.2006.Standard Operating Procedure dan Standard Asuhan Keperawatan RSUD Ulin Banjarmasin.Banjarmasin:Komite Keperawatan dan Keteknisian Medis RSUD Ulin.

http://www.ziddu.com/download/64755169/pathway-emfisema.doc.html

Anonim. 2009. Penyakit Obstruksi Paru Kronik. http://www.kalbeportal.com.

———. 2009. COPD in Smoker. http://content.nejm.org/.

Davey. 2006. At a Glance Medicine: Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Jakarta: Erlangga

Guyton dan Hall. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9: Insufesiensi Pernapasan. Jakarta: EGC

Kumar dkk. 2006. Buku Ajar Patologi Jilid 2 Edisi 7: Paru dan Saluran Napas Atas. Jakarta: EGC