askep emfisema

  1. A.   PENGERTIAN

            Emfisema adalah perubahan anatomis paremkim paru yang biasanya ditandai dengan perbesaran alveolus dan duktus alveolaris serta          destruksi dinding alveolus (Price).

Emfisema adalah penyakit obstruksi kronik akibat berkurangnya      elastisitas paru dan luas permukaan alveolus (Corwin).

            Emfisema kronik adalah penyakit yang ditandai dengan pelebaran dari alveoli yang diikuti oleh destruksi dari dinding alveoli. Biasanya terdapat bersamaan dengan bronchitis kronik, akan tetapi dapat pula berdiri sendiri. Penyebabnya juga sama dengan bronchitis, antara lain pada perokok. Akan tetapi pada yang hedediter, dimana terjadi kekurangan pada globulin alfa antitrypsin yang diikuti oleh fibrosis, maka emfisema muncul pada lobus bawah pada usia muda tanpa harus terdapat bronchitis kronik. (Tabrani Rab, 2006)

            Emfisema paru dapat pula terjadi setelah atelektasis atau setelah lobektomi, yang disebut emfisema kompensasi dimana tanpa didahului dengan bronchitis kronik dahulu. Kebanyakan emfisema terjadi pada daerah distal dari bronkus, terutama pada asma bronchial. Penyempitan bronkus kadang kala menimbulkan perangkap udara (air tapering), dimana udara dapat masuk tetapi tidak keluar, sehingga menimbulkan emfisema yang akut. Frekuensi emfisema lebih banyak pada pria daripada wanita. (Tabrani Rab, 2006)

Emfisema paru adalah suatu keadaan abnormal pada anatomi paru dengan adanya kondisi klinis berupa melebarnya saluran udara bagian distal bronkiolus terminal yang disertai dengan kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini meupakan tahap akhir proses yang mengalami kemajuan dengan lambat selama beberapa tahun. Pada kenyataannya, ketika klien mengalami gejala emfisema, fungsi paru sudah sering mengalami kerusakan permanen (irreversible) yang disertai dengan bronchitis obstruksi kronis. Kondisi ini merupakan penyebab utama kecacatan. (Arif Muttaqin, 2008)

Yang menjadi pokok utama pada emfisema adalah adanya hiperinflasi dari paru yang bersifat irreversible dengan konsekuensi rongga toraks berubah menjadi gembung atau barrel chest. Gabungan dari alveoli yang pecah dapat menimbulkan bula yang besar yang kadang-kadang memberikan gambaran seperti pneumotoraks. (Tabrani Rab, 2006)

  1. B.   ETIOLOGI

(Menurut Arif Muttaqin , 2008)

Berikut ini merupakan penyebab dari emfisema adalah:

  1. Merokok

Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungan yang erat antara merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV) (Nowak, 2004).

  1. Keturunan

Belum diketahui jelas apakah factor keturunan berperan atau tidak pada emfisema kecuali pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Kerja enzim ini menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah. Defisiensi alfa 1-antitripsin adalah suatu kelainan yang diturunkan secara autosom resesif. Orang yang sering menderita emfisema paru adalah penderita yang memiliki gen S atau Z. Emfisema paru akan lebih cepat timbul bila penderita tersebut merokok.

  1. Infeksi

Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala-gejalanya pun menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernapasan atas pada seseorang penderita bronchitis kronis hamper selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, dan menyebabkan kerusakan paru bertambah. Eksaserbasi bronchitis kronis disangka paling sering diawali dengan infeksi virus, yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.

  1. Hipotesis Elastase – Antielastase

Di dalam paruterdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase agar tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan antara keduanya akan menimbulkan kerusakan pada jaringan elastic paru. Struktur paru akan berubah dan timbullah emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pancreas, sel-sel PMN, dan makrofag alveolar (pulmonary alveolar macrophage-PAM). Rangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok dan infeksi virus menyebabkan elastase virus bertambah banyak. Aktivitas system antielastase, yaitu system enzim alfa 1-protease-inhibitor terutama enzim alfa 1-antitripsin menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru dan kemudian emfisema.

  1. C.   PATOFISIOLOGI

(Menurut Arif Muttaqin, 2008)

Adanya inflamasi, pembengkakan bronchi, produksi lendir yang berlebihan, kehilangan recoil elastisitas jalan napas, dan kolaps bronkhiolus, serta penurunan redistribusi udara ke alveoli menimbulkan gejala sesak pada klien dengan emfisema.

Pada paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru ke luar (yang disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada) dengan tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam (elastisitas paru). Keseimbangan timbul antara kedua tekanan tersebut, volume paru yang terbentuk disebut sebagai functional residual capacity (FRC) yang normal. Bila elastisitas paru berkurang timbul keseimbangan baru dan menghasilkan FRC yang lebih besar. Volume residu bertambah pula, tetapi VC menurun. Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang, sehingga saluran pernapasan bagian bawah paru akan tertutup.

Pada klien dengan emfisema, saluran-saluran pernapasan tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernapasan menutup dan dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Namun semua itu bergantung pada kerusakannya. Mungkin saja terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada, tetapi perfusinya baik sehingga penyebarannya udara pernapsan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Atau dapat dikatakan juga tidak ada keseimbangan antara ventilasi dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama)

Pada tahap akhir penyakit, system eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri (hiperkapnea) dan  menyebabkan asidosis respiratorik. Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, maka jaringan-jaringan kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam area pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (edema dependen), distensi vena jugularis, atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung (Nowak, 2004).

Sekresi yang meningkat dan tertahan menyebabkan klien tidak mampu melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis menetap dalam paru yang mengalami emfisema, ini memperberat masalah. Individu dengan emfisema akan mengalami obstruksi kronis yang ditandai oleh peningkatan tahanan jalan napas aliran masuk dan aliran keluar udara dari paru. Jika demikian, paru berada dalam keadaan hiperekspansi kronis.

Untuk mengalirkan udara ke dalam dan ke luar paru dibutuhkan tekanan negative selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat adekuat yang harus dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi berlangsung. Kinerja ini membutuhkan kerja keras otot-otot pernapasan yang berdampak pada kekuatan dada dan iga-iga terfiksasi pada persendiannya dengan bermanifestasi pada perubahan bentuk dada dimana rasio diameter AP:Transferal mengalami peningkatan (barrel chest). Hal ini terjadi akibat hilangnya elastisitasparu karena adanya kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.

Pada beberapa kasus, barrel chest terjadi akibat kifosis di mana tulang belakang bagian atas secara abnormal bentuknya membulat atau cekung. Beberapa klien membungkuk ke depan untuk dapat bernapas, menggunakan otot-otot bantu napas. Retraksi fosa supraklavikula yang terjadi pada inspirasi mengakibatkan bahu melengkung ke depan

  1. D.   PATHWAY
  1. E.   KLASIFIKASI

(Menurut Tabrani Rab, 2006)

Sebagai klinis diagnosis dari emfisema berdasarkan atas:

  1. Pelebaran yang permanen dari sakus alveolaris. Pelebaran yang refersibel, seperti pada asma, yang disebabkan oleh karena terperangkapnya udara dan dapat kembali menjadi normal tidak digolongkan ke dalam emfisema.
  2. Pelebaran dari sakus alveolaris (asinus) dan rusaknya dinding alveoli merupakan gambaran normal pada usia lanjut dan perubahan fisiologi ini bukan merupakan emfisema.
  3. Yang terpenting pada emfisema adalah terdapatnya destruksi dari jaringan alveoli. Secara faal menyebabkan paru kehilangan recoilnya dan kehilangan pembuluh darah yang terdapat di unit paru tersebut, sehingga sebagian unit paru ini tidak berfungsi lagi dan diambil alih oleh unit paru yang lainnya.

Berdasarkan efek emfisema pada asinus maka emfisema dapat dibagi menjadi 4 tipe, yakni:

  1. Emfisema asinus distal atau disebut juga dengan emfisema paraseptal Lesi ini biasanya terjadi di sekitar septum lobules, bronkus, dan pembuluh darah atau di sekitar pleura maka mudah menimbulkan pneumotoraks pada orang muda.
  2. Emfisema sentrilobular disebut juga emfisema asinus proksimal atau emfisema bronkiolus respiratorius. Biasanya terjadi bersama-sama dengan pneumoconiosis atau penyakit-penyakit oleh karena debu lainnya. Penyakit ini erat hubungannya dengan perokok, bronchitis kronik, dan infeksi saluran napas distal. Penyakit ini sering didapat bersamaan dengan obstruksi kronik dan berbahaya bila terdapat pada bagian atas paru.
  3. Emfisema parasinar

Biasanya terjadi pada seluruh asinus. Secara klinis berhubungan erat dengan:

  1. Defisiensi alfa antitrypsin
  2. Bronkus dan bronkiolus obliterasi (biasanya lebih jarang)
  3. Emfisema irregular atau disebut juga dengan emfisema jaringan parut. Biasanya terlokalisir, bentuknya irregular dan tanpa gejala klinis. Salah satu bentuk emfisema yang lain adalah emfisema jaringan parut yang berbentuk irregular. Jaringan parut yang menyebabkan irregular dan emfisema ini berhubungan dengan tuberkulosa, histoplasmosis, dan pnemokoniosis. Begitu pula eosinofilik granuloma dalam bentuk irregular dan limfangileiomiomatosis.
  1. F.    TANDA DAN GEJALA

Gambaran

Emfisematosa

AwitanUsia saat didiagnosisSebab

Sputum

Dispnea

Rasio V/Q

Bentuk tubuh

Diameter AP dada

PA paru

Pola pernapasan

Volume paru-paru

PaCO2

PaO2

SaO2

Hematokrit

Polisetemia

Sianosis

Kor pulmoner

Usia 30-40 tahun±60 tahunFaktor-faktor yang tidak diketahui

Predisposisi genetic

Merokok

Polusi udara

Sedikit

Relatif dini

Ketidakseimbangan V/Q minimal

Kurus dan ramping

Sering berbentuk seperti tong

Emfisema panlobular

Hiperventilasi dan dispnea yang jelas, dapat timbul sewaktu istirahat

FEV1 rendah

TLC dan RV meningkat

Normal atau rendah (35-40 mmHg)

65-75 mmHg

Normal

35 sampai  45%

Hb dan Hct normal sampai tahap akhir

Jarang

Jarang kecuali tahap akhir

  1. G.  PENATALAKSANAAN

Klien dengan emfisema rentan terhadap infeksi paru dan harus diobati pada awal timbulnya ranch-ranch infeksi. Organisme yang paling umum menyebabkan infeksi tersebut adalah S. pneumonia, H.influenzae, dan Branhamella catarrhalis. Terapi antimikroba dengan tetrasiklin, amficilin, amoxicillin, atau trimetoprim-sulfametoxazol (bactrim) biasanya diresepkan. Regimen antimikroba digunakan pada tanda pertanda infeksi pernapasan seperti yang dibuktikan dengan adanya sputum purulen, batuk meningkat, dan demam.

Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid tetap controversial dalam pengobatan emfisema. Kortikosteroid digunakan untuk melebarkan bronkhiolus dan membuang sekresi setelah tindakan lain tidak menunjukkan hasil. Prednison biasanya diresepkan.

Dosis disesuaikan untuk menjaga klien pada dosis yang serendah mungkin. Efek samping jangka pendek termasuk gangguan gastrointestinal dan peningkatan nafsu makan. Pada jangka panjang, klien mungkin mengalami ulkus peptikum, osteoporosis, supresi adrenal, miopati steroid, dan pembentukan katarak.

Oksigenasi

Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada klien dengan emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi oksigen rendah untuk meningkatkan PaO2 hingga antara 65 dan 80 mmHg. Pada emfisema berat, oksigen diberikan sedikitnya 16 jm per hari, dengan 24 jam lebih baik. Modalitas ini dapat menghilangkan gejala-gejala klien dan memperbaiki kualitas hidup klien.

  1. H.  PENGKAJIAN KEPERAWATAN

(Menurut Arif Muttaqin, 2008)

Anamnesa

Dispnea adalah keluhan utama emfisema dan mempunyai serangan (onset) yang membahayakan. Klien biasanya mempunyai riwayat merokok, batuk kronis yang lama, mengi, serta nafas pendek dan cepat (takipnea). Gejala-gejala diperburuk oleh infeksi pernapasan. Perawat perlu mengkaji obat-obat yang biasa diminum klien, memeriksa kembali setiap jenis obat apakah masih relevan untuk digunakan kembali.

Pemeriksaan Fisik Fokus

  1. 1.      Inspeksi

Pada klien dengan emfisema terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan serta penggunaan otot bantu napas. Pada inspeksi, klien biasanya tampak mempunyai bentuk dada barrel chest (akibat udara yang terperangkap), penipisan massa otot, dan pernapasan dengan bibir dirapatkan. Pernapasan abnormal tidak efektik dan penggunaan otot-otot bantu napas (sternokleidomastoideus). Pada tahap lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dengan sputum purulen disertai demam mengindikasi adanya tanda pertama infeksi pernapasan

  1. Palpasi

Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun.

  1. 3.      Perkusi

Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma menurun.

  1. 4.      Auskultasi

Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing sesuai tingkat beratnya obstruktif pada bronkhiolus. Pada pengkajian lain, didapatkan kadar oksigen yang rendah (hipoksemia) dan kadar karbondioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut penyakit. Pada waktunya, bahkan gerakan ringan sekalipun seperti membungkuk untuk mengikatkan tali sepatu, mengakibatkan dispnea dan keletihan (dispnea eksersional). Paru yang mengalami emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi dan bronkhiolus tidak dikosongkan secara efektif dari sekresi yangf dihasillkan. Klien rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi akibat pengumpulan sekresi ini. Setelah infeksi ini terjadi, klien mengalami mengi yang berkepanjangan saat ekspirasi. Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan merupakan hal yang umum terjadi. Vena jugularis mungkin mengalami distensi selama ekspirasi.

  1. a.      Pemeriksaan Diagnostik
  2. 1.      Pengukuran Fungsi Paru (Spirometri)

Pengukuran fungsi paru biaasanya menunjukkan peningkatan kapasitas paru total (TLC) dan volume residual (RV). Terjadi penurunan dalam kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi paksa (FEV). Temuan-temuan ini menegaskan kesulitan yang dialami klien dalam mendorong udara ke luar dari paru.

  1. 2.      Pemeriksaan Laboratorium

Hemoglobin dan hematokrit mungkin normal pada tahap awal penyakit. Dengan berkembangnya penyakit, pemeriksaan gas darah arteri dapat menunjukkan adanya hipoksia ringan dengan hiperkapnea.

  1. 3.      Pemeriksaan Radiologis

Rontgen thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi, pendataran diafragma, pelebaran margin interkosta, dan jantung sering ditemukan bagai tergantung (heart till drop).

  1. I.      DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

(Menurut Muttaqin A,dkk,2006)

  1. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-perfusi.

Tujuan: Perbaikan dalam pertukaran gas.

Intervensi :

1)      Berikan bronkodilator sesuai yang diresepkan.

2)      Evaluasi tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB.

3)      Instruksikan dan berikan dorongan pada pasien pada pernapasan diafragmatik dan batuk efektif.

4)      Berikan oksigen dengan metode yang diharuskan.

Rasional:

1)      Bronkodilator mendilatasi jalan napas dan membantu melawan edema mukosa bronchial dan spasme muscular.

2)      Mengkombinasikan medikasi dengan aerosolized bronkodsilator nebulisasi biasanya digunakan untuk mengendalikan bronkokonstriksi.

3)      Teknik ini memperbaiki ventilasi dengan membuka jalan napas dan membersihkan jalan napas dari sputum. Pertukaran gas diperbaiki.

4)      Oksigen akan memperbaiki hipoksemia.

Evaluasi:

  1. Mengungkapkan pentingnya bronkodilator.
  2. Melaporkan penurunan dispnea.
  3. Menunjukkan perbaikan dalam laju aliran ekspirasi.
  4. Menunjukkan gas-gas darah arteri yang normal.
  1. Bersihan jalan nafas tidak efektif yang berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan produksi lendir, batuk tidak efektif, dan infeksi bronkopulmonal.

Tujuan : Pencapaian klirens jalan napas.

Intervensi :

1)      Beri pasien 6-8 gelas cairan/hari, kecuali terdapat kor pulmonal.

2)      Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmaik dan batuk.

3)      Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler, atau IPPB.

4)      Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan malam hari sesuai yang diharuskan.

5)      Instruksikan pasien untuk menghindari iritan, seperti asap rokok, aerosol, dan asap pembakaran.

6)      Berikan antibiotik sesuai yang diresepkan.

Rasional :

1)      Hidrasi sistemik menjaga sekresi tetap lembab dan memudahkan untuk pengeluaran.

2)      Teknik ini akan membantu memperbaiki ventilasi dan untuk menghasilkan sekresi tanpa harus menyebabakan sesak napas dan keletihan.

3)      Tindakan ini menambahakan air ke dalam percabangan bronchial dan pada sputum menurunkan kekentalannya, sehingga memudahkan evakuasi sekresi.

4)      Menggunakan gaya gravitasi untuk membantu membangkitkan sekresi sehingga sekresi dapat lebih mudah dibatukkan atau diisap.

5)      Iritan bronkial menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan pembentukan lendir, yang kemudian mengganggu klirens jalan napas.

6)      Antibiotik mungkin diresepkan untuk mencegah atau mengatasi infeksi.

Evaluasi :

  1.  Mengungkapkan pentingnya untuk minum 6-8 gelas per hari.
  2. Batuk berkurang.
  3. Jalan napas kembali efektif.
  1. Pola pernapasan tidak efektif yang berhubungan dengan napas pendek, lendir, bronkokonstriksi, dan iritan jalan napas.

Tujuan : perbaikan dalam pola pernapasan.

Intervensi :

1)        Ajarkan pasien pernapasan diafragmatik dan pernapasan bibir dirapatkan.

2)        Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode istirahat.

3)        Berikan dorongan penggunaan pelatihan otot-otot pernapasan jika diharuskan.

Rasional :

1)      Membantu pasien memperpanjang waktu ekspirasi. Dengan teknik ini pasien akan bernapas lebih efisien dan efektif.

2)      Memberikan jeda aktivias akan memungkinkan pasien untuk melakukan aktivitas tanpa distres berlebihan.

3)      Menguatkan dan mengkoordinasiakn otot-otot pernapasan.

Evaluasi :

  1. Melatih pernapasan bibir dirapatkan dan diafragmatik serta menggunakannya ketika sesak napas dan saat melakukan aktivitas.
  2. Memperlihatkan tanda-tanda penurunan upaya bernapas dan membuat jarak dalam aktivitas.
  3. Menggunakan pelatihan otot-otot inspirasi, seperti yang diharuskan.
  4. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.

Tujuan : kemandirian dalam aktivitas perawatn diri.

Intervensi :

1)      Ajarkan pasien untuk mengkoordinasikan pernapasan diafragmatik dengan aktivitas.

2)      Berikan pasien dorongan untuk mulai mandi sendiri, berpakaian sendiri, berjalan.

3)      Ajarkan tentang drainase postural bila memungkinkan.

Rasional :

1)       Akan memungkinkan pasien untuk lebih aktif dan untuk menghindari keletihan yang berlebihan atau dispnea selama aktivitas.

2)       Sejalan dengan teratasinya kondisi, pasien akan mampu melakukan lebih banyak namun perlu didorong untuk menghindari peningkatan ketergantungan.

3)       Memberikan dorongan pada pasien untuk terlibat dalam perawtan dirinya.

Evaluasi :

  1. Menggunakan pernapasan terkontrol ketika beraktivitas.
  2. Menguraikan strategi penghematan energi.
  3. Melakukan aktivitas perawatan diri seperti sebelumnya.
  1. Intoleran aktivitas akibat keletihan, hipoksemia, dan pola pernapasan tidak efektif.

Tujuan: perbaikan dalam toleran aktivitas.

Intervensi:

1)      Dukungan pasien dalam menegakkan regimen latihan teratur.

Rasional:

1)      Otot-otot yang mengalami kontaminasi membutuhkan lebih banyak oksigen dan memberikan beban tambahan pada paru-paru. Melalui latihan yang teratur, kelompok otot menjadi lebih terkondisi.

Evaluasi:

  1. Melakukan aktivitas dengan napas pendek lebih sedikit.
  2. Berjalan secara bertahap meningkatkan waktu dan jarak berjalan untuk memperbaiki kondisi fisik.
  1. Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah, dan ketidakmampuan untuk bekerja.

Tujuan: pencapaian tingkat koping yang optimal.

Intervensi:

1)      Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan semangat yng ditujukan kepada pasien.

2)      Dorongan aktivitas sampai tingkat toleransi gejala.

3)      Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi pasien.

Rasional:

1)      Suatu perasaan harapan akan memberikan pasien sesuatu yang dapat dikerjakan.

2)      Aktivitas mengurangi ketegangan dan mengurangi tingkat dispnea sejalan dengan pasien menjadi terkondisi.

3)      Relaksasi mengurangi stres dan ansietas dan membantu pasien untuk mengatasi ketidakmampuannya.

Evaluasi :

  1. Mengekspresikan minat di masa depan.
  2. Mendiskusikan aktivitas dan metode yang dapat dilakukan untuk menghilangkan sesak napas.
  3. Menggunakan teknik relaksasi dengan sesuai.
  1. Defisit pengetahuan tentang prosedur perawatan diri yang akan dilakukan di rumah.

Tujuan: kepatuhan dengan program terapeutik dan perawatan di rumah.

Intervensi:

1)      Bantu pasien mengerti tentang tujuan-tujuan jangka pendek dan jangka panjang.

2)      Diskusikan keperluan untuk berhenti merokok.

Rasional:

1)      Pasien harus mengetahui bahwa ada metoda dan rencana dimana ia memainkan peranan yang besar.

2)      Asap tembakau menyebabkan kerusakan pasti pada paru dan menghilangkan mekanisme proteksi paru-paru. Aliran udara terhambat dan kapasitas paru menurun.

Evaluasi:

  1. Mengerti tentang penyakitnya dan apa yang mempengarukinya.
  2. Berhenti merokok

DAFTAR PUSTAKA

 

Muttaqin,Arif.2008.Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.Jakarta:Salemba Medika.

Rab,Tabrani.2006.Ilmu Penyakit Paru.Jakarta:Hipokrutes.

Muttaqin,A.dkk.2006.Standard Operating Procedure dan Standard Asuhan Keperawatan RSUD Ulin Banjarmasin.Banjarmasin:Komite Keperawatan dan Keteknisian Medis RSUD Ulin.

http://www.ziddu.com/download/64755169/pathway-emfisema.doc.html

Anonim. 2009. Penyakit Obstruksi Paru Kronik. http://www.kalbeportal.com.

———. 2009. COPD in Smoker. http://content.nejm.org/.

Davey. 2006. At a Glance Medicine: Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Jakarta: Erlangga

Guyton dan Hall. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9: Insufesiensi Pernapasan. Jakarta: EGC

Kumar dkk. 2006. Buku Ajar Patologi Jilid 2 Edisi 7: Paru dan Saluran Napas Atas. Jakarta: EGC